BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hubungan industrial merupakan suatu system hubungan
yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan jasa yang terdiri
unsure pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintag yang didasari nilai-nilai
pancasila dan UUD Negara RI. Dalam pelaksanaan hubungan industrial, pemerintag,
pekerja/buruh atau serikat pekerja buruh serta penngusaha atau organisasi
pengusaha mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang sudah digariskan dalam
UUD. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hubungan industrial
prinsip-prinsip industrial. Dengan adanya hubungan industrial dalam suatu
perusaaan, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar
karyawan dan pengusaha sehingga perusahaan dapat berjalan terus. Selain itu
juga latar belakang penulismakalah ini adalah sebagaimana tugas yang diberikan
oleh dosen yang kemudian akan digabungkan dengan berbagai materi.
1.2
Rumusan Masalah
a. Apa pengertian hubungan industrial ?
b. Siapa pengertian hubungan industrial?
c. Bagaimana asal-usul hubungan industrial ?
d. Apa prespektif-prespektih dalam hubungan industrial
?
e. Bagaimana hubungan industrial di Indonesia ?
1.3
Tujuan
2
Dapat mengetahui
pengertian hubungan industrial
3
Dapat mengetahui
para pelaku hubungan industrial
4
Dapat mengetahui
asal-usul hubungan industrial
5
Dapat mengetahui
prespektif-prespektih dalam hubungan industrial
6
Dapat mengetahui
hubungan industrial di Indonesia
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hubungan Industrial
Hampir setiap individu dapat dikatakan memiliki hubungan
kerja baik dengan perorangan maupun dengan suatu lembaga. Hubungan kerja adalah
suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan
perjanjian sebelumnya oleh kedua belah pihak. Pekerja menyatakan kesanggupannya
untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha
menyatakan pula kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar
upah. Suatu hubungan kerja umumnya diikuti dengan suatu perjanjian kerja yang
memuat hak dan kwajiban kedua belah pihak baik secara langsung maupun tertulis.
Dengan demikian perjanjian kerja merupakan hasil interaksi diantara pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu proses produksi.
Hubungan kerja merupakan awal dari hubungan
industrial. Suatu hubungan kerja dapat berkembang menjadi hubungan industrial
apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti kolektivitas dan organisasi
kerja. Apabila terjadi hubungan kerja antara pihak-pihak secara kolektiv dalam
suatu proses produksi, yaitu melibatkan sekelompok pekerja dan pemberi kerja
dalam suatu organisasi kerja atau perusahaan, maka hubungan kerja itu berubah
menjadi hubungan industrial. Sebaliknya, suatu hubungan kerja yang masih
bersifat perorangan atau belum melibatkan sekelompok orang dalam suatu
organisasi kerja belum bisa disebut sebagai hubungan industrial. Selain itu,
ada yang menyebutkan hubungan industrial merupakan suatu bentuk interaksi
berbagai institusi, seperti serikat kerja, asosiasi pengusaha, proses-proses
pelembagaan yang menyangkut tawar-menawar, arbitrasi, serta hasil tawar-menawar
dan arbitrasi tersebut, berupa kesepakatan bersama maupun pemenuhan tuntutan.
Jadi, secara sederhana hubungan industrial diartikan
sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk diantara para pelaku proses
produksi barang atau jasa. Namun, hubungan industrial tidak hanya sekedar
sistem hubungan diantara para pelaku ditempat kerja, tapi meliputi sekumpulan
fenomena didalam maupun diluar tempat kerja yang berkaitan dengan penetapan dan
pengaturan hubungan ketenagakerjaan. Dalam perkembangannya, hubungan industrial
menyangkut hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Tujuan hubungan industrial adalah meningkatkan
produktifitas dan kesejahteraan pekerja dan pengusaha, dimana keduanya saling
berkaitan. Peningkatan produktifitas tidak bisa dicapai bila kesejahteraan
pekerja tidak diperhatikan. Sebaliknya, kesejahteraan pekerja tidak bisa
dipenuhi bila tidak terjadi peningkatan produktifitas perusahaan dan kerja.
Sarana utama hubungan industrial dapat dibedakan
menjadi dua kelompok. Pertama, pada tingkat perusahaan ialah serikat buruh,
Kesepakatan Kerja Bersama/Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perusahaan,
lembaga kerjasama bipartit, pendidikan, dan mekanisme penyelesaian perselisihan
industrial. Kedua, sarana yang bersifat makro, yaitu serikat buruh, organisasi
pengusaha, lembaga kerjasama tripartid, peraturan perundang-undangan,
penyelesaian industrial, dan pengenalan hubungan industrial bagi masyarakat
luas.
Peraturan di tempat kerja dapat dibagi menjadi dua
macam. Pertama, peraturan-peraturan substanstif yang mencakup pengaturan upah,
jam kerja, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja yang diatur
dalam peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Kedua,
peraturan-peraturan prosedural yang umumnya terdapat dalam peraturan
perundangan tentang buruh, seperti peraturan tentang prosedur pendaftaran
serikat pekerja.
2.2 Pelaku Hubungan Industrial
Dalam hubungan industrial, setidaknya ada tiga
pelaku yang saling berinteraksi, yaitu pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Pekerja dan pengusaha merupakan pelaku utama hubungan industrial ditingkat
perusahaan. Dalam hal ini, pekerja dan pengusaha mempunyai hak yang sama
melindungi dan mengamankan kepentingan masing-masing bahkan berhak melakukan
tekanan melalui kekuatan bersama bila perlu. Hubungan keduanya juga berpotensi
mengundang konflik yang berkaitan dengan perbedaan persepsi terhadap
kepentingan masing-masing.
Fungsi pemerintah dalam hubungan industrial adalah
membuat peraturan dan perundangan ketenagakerjaan agar hubungan keduanya
berjalan seimbang dilandasi pengaturan hak dan kewajiban yang ada. Selain itu,
pemerintah berfungsi menyelesaikan berbagai perselisihan industrial yang
terjadi secara adil.
Tiga
pelaku industrial dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pengusaha (Manajemen).
Istilah manajemen merujuk pada
individu yang bertanggung jawab merealisasikan tujuan dari pengusaha dan
organisasi kerja mereka. Manajemen sekurangnya mencakup tiga kelompok. Pertama,
para pemilik dan pemegang saham perusahaan. Kedua, jajaran direktur eksekutif
dan manager. Ketiga, personalia Human Resources Departement (HRD), yang
bertanggung jawab khusus mengatur hubungan perusahaan dengan buruh serta
serikat buruh.
Manajemen berperan melakukan
negosiasi dan menginvestasikan peraturan-peraturan dan kebijakn-kebijakan
perusahaan tentang hubungan industrial.
2.
Buruh
Istilah buruh (labour) meliputi
pekerja dan serikat buruh yang mewakili mereka. Para buruh dapat mempengaruhi
perusahaan untuk memenuhi tuntutan mereka melalui serikat buruh.
Penduduk dapat dibedakan dalam dua
kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah
mereka yang bekerja dan sedang mencari kerja. Sedangkan, bukan angkatan kerja
adalah penduduk usia kerja (>15 tahun) yang tidak bekerja dan tidak mencari
kerja. Buruh dalam konteks Indonesia adalah mereka yang dalam angkatan kerja.
3.
Pemerintah
Yang masuk dalam istilah pemerintah
yaitu pertama, pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Kedua, lembaga-lembaga
pemerintah yang bertanggung jawab membuat atau merubah kebijakan publik yang
mempengaruhi hubungan industrial. Ketiga, pemerintah sebagai representasi dari
berbagai kepentingan publik.
Pemerintah bisa berperan sebagai
regulator dengan mengeluarkan peraturan perburuhan, misal peraturan bagaimana
para pekerja membentuk serikat buruh dan pengaturan hak dan kewajiban yang bisa
dimiliki oleh serikat buruh (Kartz dan Kochan, 1992).
2.3. Asal-usul Perkembangan
Industrial
Hubungan industrial dikenal di Eropa pada
pertengahan abad ke-18 seiring munculnya revolusi industri. Awalnya hubungan
industrial bersifat personal antara buruh dan pengusaha, bahkan hubungan yang
terjalin bersifat kekeluargaan. Segala persoalan yang munculpun diselesaikan
secara pribadi dan kekeluargaan. Intinya kala itu hubungan industrial belum
melahirkan berbagai peraturan kompleks ditempat kerja. Revolusi industri
menyebabkan perubahan besar dalam berproduksi. Perkembangan teknologi produksi
dan bahan baku yang melimpah mempermudah peningkatan produksi yang mendatangkan
keuntungan besar bagi perusahaan. Dampaknya perusahaan lebih bertambah besar
dan cara produksi lebih praktis dari sebelumnya. Seiring kompleksnya
permasalahan yang muncul antara pekerja dan pengusaha dirasakan perlu adanya
pengaturan hak dan kewajiban yang dipatuhi oleh kedua pihak agar tercipta
harmonisasi dalam perusahaan.
Pasca revolusi industri sampai akhir abad ke 19
hubungan industrial semakin menjadi isu yang meninjol. Pada masa ini hubungan
industrial banyak dipengaruhi oleh paham liberalisme, yang di[populerkan oleh
Adam Smith yang dapat dilihat dari beberapa pandangan berikut : Pertama, pada
dasarnya antara pengusaha dan buruh memiliki kepentingan yang berbeda,
pengusaha selalu berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara itu
buruh juga berupaya mendapatkan upah yang sebear-besarnya. Akibatnya diantara
keduanya akan selalu memiliki hubungan yang bersifat konfliktual terus-menerus.
Kedua, hubungan antara pengusaha dan pekerja yang selalu dilandasi oleh konflik
kepentingan itu akan berupaya mencapai titik temu.
Akibat paling
nyata pengaruh paham liberalisme terhadap hubungan industrial adalah munculnya
pandangan bahwa buruh adalah benda atau objek ekonomi. Dengan kata lain pekerja
adalah faktor produksi yang digunakan sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya. Dalam kondisi demikian para buruh sering merasa tertindas dan
mengalami kondisi yang menyedihkan, seperti jam kerja yang panjang,
kesejahteraan kerja yang sangat rendah, anak-anak terpaksa ikut bekerja, gizi
yang rendah dan banyak yang sakit-sakitan.
Penindasan yang banyak dialami oleh
para buruh mendorong mereka untuk menghimpun diri dalam suatu organisasi.
Kesadaran berorganisasi di kalangan buruh menandai munculnya aksi-aksi kolektif
dalam mengajukan tuntutan terhadap pengusaha dan aksi mereka berkembang menjadi
aksi kolektif, seperti mogok kerja, dan penutupan perusahaan sebagai sarana sah
dalam hubungan industrial. Seiring perkembangannya terjadi pergeseran pandangan
terhadap hubungan industrial. Pendekatan dalam bidang manajemen yang dikenal
dengan scientific management muncul dipelopori oleh F. W. Taylor, pendekatan
yang diungkapkannya mulai mengakui perbedaan di antara pekerja berdasarkan
tingkat keterampilan yang dimiliki pekerja. Pandangan selanjutnya yang lebih
modern dalam bidang manajemen dan hubungan industrial muncul pada tahun
1930-an. Dalam pandanagn ini, para pekerja mulai dipandang sebagai individu dan
juga makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya.
Hal yang perlu diperhatikan adalah, perkembangan hubungan
industrial bukan saja ditentukan oleh perkembangan bidang manajemen tetapi juga
dipengaruhi oleh perkembangan politik pada akhir abad sembilan belas dan
permulaan abad dua puluh. Perkembangan politik saat itu didominasi oleh sistem
politik demokrasi, dimana rakyat ikut berperan dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut publik melalui lembaga-lembaga perwakilan. Hal tersebut membuat
kondisi para buruh semakin terlindungi dengan adanya peraturan perundangan yang
mengatur hak dan kwajiban antara pengusaha dan pekerja, seperti pengaturan
tentang keselamatan kerja, pengupahan dan jam kerja.
2.4 Prespektif Prespektif dalam
hubungan industrial
Hubungan industrial adalah studi
tentang bagaimana peranan pemerintah, manajemen, dan pekerja dalam rangka membuat
perubahan atau mempertahankan peraturan di tempat kerja.
Anantaraman mengembangkan dua
pendekatan dalam membahas hubungan industrial, yaitu perspektif unitary dan
class conflict.
1.
Perspektif
unitary, hubungan industrial merupakan hubungan kerja sama antara pihak
manajemen dan buruh yang bersifat harmonis. Manajemen dan buruh merupakan satu
tim kesatuan yang saling membutuhkan, dimana manajemen adalah pihak yang
menentukan kebijaksanaan, sedang buruh merupakan pihak yang menjalankannya.
2. Sementara perspektif konflik kelas (class conflict)
memandang pihak manajemen dan buruh adalah pihak dengan kepentingan yang
berbeda dan cenderung bersifat antagonis.
Stephen
J. Deery dan David H. Plowman, perspektif pluralist menurutnya memandang bahwa
suatu oraganisasi kerja meliputi berbagai kelompok dengan kepentingan,tujuan
dan aspirasi yang beragam. Berdasarkan pendekatan ini konflik dalam hubungan
kerja tidak dapat dihindari. Sementara itu perspektif marxist bertolak dari
pemikiran bahwa dalam masyarakat industri selalu muncul konflik yang
berdasarkan kelas yaitu, antara kelas pemilik modal dengan kelas buruh.
J.
Dunlop (1958), menegaskan bahwa peraturan di tempat kerja harus dijadikan
sebagai variabel dependent yang dipengaruhi oleh proses interaksi para pelaku
hubungan industrial sebagai variabel independent. Proses itu meliputi yaitu:
1.
Status relatif dari pelaku.
Pemerintah,
manajemen, dan pekerja dalam hubungan industrial memiliki status dan posisi
yang berbeda. Status dan posisi para pelaku itu dipengaruhi dan ditentukan
dalam peraturan perundangan serta terikat dalam sistem politik yang dianut oleh
suatu negara.
2.
Konteks dimana para pelaku berinteraksi
Konteks
dimana para pelaku hubungan industrial berinteraksi tidak bisa diabaikan ketika
membuat peraturan di tempat kerja. Peraturan itu bukan hanya dipengaruhi oleh
kondisi faktor internal tapi juga faktor-faktor luar.
3.
Ideologi dari sistem hubungan industrial.
Faktor
ini menunjuk pada hubungan antara sistem hubungan industrial dan sistem politik
yang berlaku dalam suatu negara. Biasanya negara-negara yang baru memulai
pembangunan industri berupaya menciptakan stabilitas sosial dan politik
disektor perburuhan dengan cara membatasi atau bahkan melarang keterlibatan
serikat buruh dalam politik.
Sehingga
Dunlop menekankan perlunya persamaan persepsi atau pandangan meskipun tidak
dipungkiri adanya ideologi dari masing-masing pelaku. Apabil dalam suatu
industri manajemen berpandangan terlalu paternalistik dalam menghadapi buruh
sementara di pihak lain buruh tidak mengakui fungsi dari pimpinan perusahaan
maka hubungan industrial tidak akan berjalan mulus dan stabil.
2.4.
Perselisiahan Industrial
Perselisihan di
antara pelaku dalam proses produksi disebut dengan perselisihan industrial.
Perselisihan industrial dapat diartikan sebagai perselisihan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau gabungan pengusaha dengan pekerja
atau serikat pekerja meyangkut masalah hak, kepentingan, dan pemutusan kerja
serta perselisihan antar serikat pekerja di satu perusahaan.
Perselisihan pekerja biasanya
diawali dengan tuntutan pekerja, baik secara lisan maupun tulisan. Perselisihan
timbul ketika usulan atau tuntutan pekerja tidak segera ditanggapi oleh pihak
pengusaha, tidak segera dilakukan perundingan, atau karena kesepakatan antara
manajemen dan pekerja tentang jenis tuntutan atau nilai tuntutan belum
tercapai.
Suatu
penelitian yang dilakukan oleh lembaga SMERU (2002) menyimpulkan empat penyebab
utama perselisihan industrial, yaitu:
1.
Tuntutan non-formatif, yaitu suatu tuntutan yang berhubungan denganhal-hal yang
tidak diatur dalam peraturan perundangan dan PKB/KKB. Perselisihan semacam ini
muncul sebagai refleksi dari ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja,
misalnya belum adanya atau relatif rendahnya uang makan, uang transportasi dan
uang susu, pakaian seragam, uang penyelenggaraan dan dana rekreasi, sistem
pembayaran upah, cuti haid, kejelasan status pekerja, service charge di
perhotelan, fasilitas tempat kerja kurang memadai atau pencabutan fasilitas,
dan hal lain-lain.
2.
Tuntutan normatif, yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah diatur dalam
peraturan perundangan dan hak-hak yang telah disepakati dalam PKB/KKB, maupun
penyesuaian terhadap kebijakan pemerintah yang baru. Misalnya, pelaksanaan Upah
Minimum Regional (UMR) atau upah yang telah menjadi kesepakatan bersama
(tripartit), uang lembur, cuti melahirkan, tunjangan perkawinan dan melahirkan,
bonus, pembentukkan serikat pekerja dan pemilihan pengurus secara demokratis,
Tunjangan Hari Tua (THT), Tunjangan Hari Raya (THR), dan pemberian pesangon.
3.
Provokasi oleh pihak ketiga di luar perusahaan (misalnya oleh pekerja dari
perusahaan lain atau serikat pekerja afiliasi lain) dan aksi solidaritas untuk
melakukan tuntutan bersama secara massal, misalnya menuntut pemberlakuan upah
minimum (UMR), kenaikan uang transportasi dan uang makan sebagai akibat
kenaikan BBM, dan pemberlakuan cuti haid.
4.
Tekanan dari beberapa pekerja di dalam perusahaan yang memaksa pekerja lain
agar ikut berunjuk rasa.
Berdasarkan
temuan penelitian SMERU, perselisihan industri dapat dibagi ke dalam empat
kategori utama menurut intensitas dan cakupannya, yaitu: pertama, perselisihan
ringan, yakni perselisihan industrial tanpa mogok kerja dan melibatkan lebih
dari satu pekerja yang dapat diselesaikan secara bipartit (baik didampingi atau
tidak didampingi oleh serikat buruh atau serikat buruh afiliasi); kedua,
perselisihan sedang, yaitu perselisihan industrial yang disertai mogok kerja
dan didampingi atau melibatkan lebih dari satu pekerja yang dapat diselesaikan
secara bipartit (baik didampingi atau tidak didampingi oleh serikat buruh atau
serikat buruh afiliasi); ketiga, perselisihan berat, yaitu perselisihan
industrial tanpa mogok kerja yang dapat diselesaikan di tingkat tripartit dan P-4D/P-4P;
keempat, perselisihan sangat berat, yaitu perselisihan industrial yang disertai
mogok kerja dan melibatkan lebih dari satu pekerja yang belum atau dapat
diselesaikan di tingkat tripartit dan P-4D/P-4P.
Menurut
Hyman (1984), pemogokan dapat didefinisikan sebagai a temporary stoppage of
work by a group of employees in order to express grievance or enforce demand.
Definisi lain tentang pemogokan dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 25 Tahun
1997, yaitu suatu tindakan pekerja secara bersama-sama menghentikan atau
memperlambat pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan perselisihan
industrial yang dilakukan, agar pengusaha memenuhi tuntutan pekerja. Namun,
dalam kenyataannya, pemogokan tidak selalu harus didahului dengan gagalnya
perundingan tetapi dapat juga terjadi pada saat perundingan sedang berlangsung
atau mendahului suatu perundingan untuk memaksa agar perundingan segera
dilakukan.
Dalam
konteks hubungan industrial, negara memiliki peran normatif yang secara
mendasar memang potensial untuk dominan, seperti peran sebagai legislator,
pemilik modal, agen resolusi konflik, pengelola ekonomi, dan pengatur hubungan
industrial. Namun, melalui peran normatifnya ini negara juga tidak jarang
terjebak ke dalam kontradiksi antara logika akumulasi modal yang mengabaikan
syarat dan ketentuan ketenegakerjaan dengan logika akomodasi yang seharusnya
melindungi korban-korban dari akumulasi modal. Kontradiksi semacam inilah yang
membuat peran negara cenderung berada di antara dilema sebagai sumber
keuntungan sepihak bagi modal atau sebaliknya menjadi sumber kesejahteraan bagi
pekerja atau justru berhasil dalam menciptakan keseimbangan antara kontradiksi
tersebu.
2.5 Hubungan Industial di Indonesia
Perkembangan
hubungan industrial di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode
kolonial, periode pasca kemerdekaan dan demokrasi terpimpin, periode Orde Baru,
dan periode pasca Orde Baru.
1.
Periode Kolonial
Hubungan
industrial mulai dikenal di indonesia bersamaan dengan pertumbuhan modal swasta
di indonesia. Pertumbuhan modal swasta ini membuka peluang bagi orang-orang
Eropa untuk bekerja di perusahaan-perusahaan swasta dan bidang-bidang tertentu
dalam sistem birokrasi kolonial. Pada masa itu, hubungan industrial lebih
mencerminkan hubungan antara para buruh Eropa dengan perusahaan-perusahaan
swasta Eropa dan pemerintrah Belanda. Sementara itu, kaum buruh bumiputra
ditempatkan pada status yang paling rendah dalam stratifikasi masyarakat
kolonial sehingga hubungan antara kaum buruh bumiputra dengan manajemen perusahaan
swasta Eropa lebih mencerminkan hubungan antara majikan dan budak atau pihak
penjajah dengan pihak yang dijajah.
Namun
di balik perkembangan hubungan industrial pada masa kolonial dimulai ketika
berdiri serikat buruh pertama untuk orang Indonesia pada tahun 1908, yakni
Serikat Buruh Kereta Api (VSTP – Vereeniging voor spoor en Tramweg Personeel).
VSTP dikenal organisasi pelopor dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia dan
berkembang sebagai wadah persatuan bagi seluruh buruh kereta api, baik swasta
maupun pemerintahan.
Setelah
kepemimpinan VSTP dikendalikan oleh tokoh-tokoh sosialis, seperti Henk
Sneevliet dan Semaun maka sistem hubungan industrial yang berlaku pada waktu
itu mulai digugat.dan sejak saat itu, sampai tahun 1926, hubungan industrial
lebih banyak diwarnai gejolak industrial berupa pemogokan yang menuntut
perbaikan kesejahteraan kaum buruh. Dan dari adanya penjelasan di atas dapat
dilihat bahwa pergeseran struktur ekonomi kolonial di Hindia Belanda dari
kebijakan tanam paksa ke liberalisme ekonomi, tidak sepenuhnya di ikuti oleh
perubahan struktur masyarakat yang kondusif. Karena hubungan-hubungan sosial
lama yang feodalistik dan paternalistik tetap dipertahankan dan akhirnya
kembali menjustifikasi hubungan–hubungan (struktur) produksi yang eksploitatif
di antara buruh dan majikan. Ada beberapa fase hubungan industrial:
Fase
pertama:
Dorongan
beraksi dalam bidang industri sampai Tahun 1925.
Fase
ini di tandai, terutama dengan pertumbuhan pesat organisasi-organisasi sukarela
pada Tahun 1910-an, seperti perkumpulan keagamaan, partai politik dan serikat
buruh yang terorganisasi. Pada fase ini, aksi-aksi pemogokan buruh adalah hal
yang bisa ditolerir oleh pemerintah Belanda.
Fase
kedua:
Perhatian
terhadap jaminan sosial (1926 -1930).
Undang-undang
pidana yang dikeluarkan pemerintahan kolonial di awal tahun 1920–an,
pemberontakan PKI yang pada akhir tahun 1926, dan gagalnya aksi-aksi pemogokan
yang dilakukan serikat buruh membuat serikat–serikat buruh kesulitan untuk
menuntut manajemen perusahaan meningkat kesejahteraan buruh. Pemerintahan
Belanda sangat membatasi kegiatan-kegiatan hubungan industrial yang berbentuk
pemogokan. Sehingga memaksa sebagian besar serikat buruh mencari cara
alternatif untuk memperbaiki kesejahteraan buruh. Dengan cara mengumpulkan
dana-dana kesejahteraan sosial dari para anggota serikat buruh dan membentuk
organisasi dana bantuan gotong-royong.
Fase
ketiga:
Masa
depresi (1930-1935).
Masa
depresi membuat kaum buruh rentan terhadap pemecatan. Salah satu contonya adalah
satu perusahaan besar memecat 1169 buruh antara Juni sampai Novermber 1930,
tapi memburuhkan 488 buruh baru.salah satu perubahan kereta api swasta besar,
perusahaan Kereta Api Hindia Belanda, juga melakukan hal yang sama pada Tahun
1931.
Fase
keempat:
Pemulihan
ekonomi (1936-1941).
Pada
fase pemulihan ekonomi, kegiatan-kegiatan serikat buruh terpusat pada
kesejahteraan sosial dan pengembangan koperasi, dana simpanan dan
kegiatan-kegiatan bantuan gotong-royong. Serikat buruh terus mendorong para
anggotanya untuk tetap menyumbang demi kepentingan dana tersebut, dan bekerja
dengan serikat-serikat buruh mereka dalam membangun usaha koperasi yang baru.
Dan dengan demikian kegiatan utama serikat-serikat buruh adalah mengorganisir
para buruh dalam sebuah sebuah industrial, di sebuah tempat kerja maupun suatu
daerah menjadi suatu tindakan bersama dalam rangka memperbaiki gaji dan kondisi
buruh. Di pihak lain, pemerintahan kolonial Belanda menganggap segala usaha
untuk mengorganisir para buruh pribumi merupakan aktifitas politik yang
mengancam, tidak hanya kepentingan-kepentingan ekonomi perusahaan Eropa tetapi
juga keberadaan negara kolonial.
2.
Periode Awal Kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin
Pada
permulaan kemerdekaan hubungan industrial tidak mengalami perubahan yang
signifikan, yaitu masih diwarnai oleh orientasi politik. Setelah kemerdekaan
terbentuklah Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang diprakarsai oleh para tokoh
buruh dalam rangka ikut serta mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada dua pemikiran yang muncul yang membuat BBI pecah menjadi dua kelompok.
Pertama, kelompok yang memandang perlunya keterlibatan organisasi buruh dalam
gerakan politik, salah satunya dengan mendirikan partai politik, yaitu Partai
Buruh Indonesia. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa organisasi buruh tidak
perlu disatukan dengan gerakan politik tetapi memusatkan perhatian pada bidang
sosial-ekonomi, yang kemudian membentuk Gabungan Serikat Buruh Indonesia
(GASBI) yang kemudian bergabung dengan Gerakan Serikat Buruh Vertikal (GSBV)
dan berubah nama menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Pada
masa pemerintahan Perdana Menteri M. Natsir, atau dekade lima puluhan gerakan
buruh sulit dipisahkan dari gerakan politik. Polarisasi di kalangan organisasi
buruh sering diakibatkan oleh perbedaan orientasi politik. Polarisasi yang
menonjol pada masa itu adalah munculnya upaya untuk membendung perkembangan
SOBSI yang beraliansi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan cara
diberlakukannya peraturan pelarangan mogok dan pembentukan
organisasi-organisasi buruh tandingan yang menjadi organ partai politik. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa gerakan buruh pada masa ini lebih banyak
dipusatkan pada gerakan politik dibandingkan upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan buruh.
Pada
dekade enam puluhan atau tepatnya setelah presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
5 Juli 1959, hubungan industrial juga masih dipengatuhi oleh gerakan-gerakan
politik. Pada masa ini hubungan industrial yang bersifat antagonistis dan
konfrontatif makin menonjol yang tidak hanya dilakukan oleh partai komunis saja
tapi juga ditiru oleh serikat buruh lainnya. Hal ini berlanjut sampai akhirnya
terjadi peristiwa G30 S/PKI di mana serikat buruh SOBSI kembali menjadi tulang
punggung pemberontakan tersebut.
Setelah
peristiwa G30 S/PKI, muncul dua wadah dalam lingkungan serikat buruh, yaitu
Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI) yang memusatkan perhatian pada aksi-aksi
politik, dan Sekretariat Bersama Buruh (Sekber Buruh) yang menitikberatkan pada
masalah-masalah sosial-ekonomi.
3.
Periode Pemerintahan Orde Baru
Pada
masa ini terjadi gerak balik perkembangan hubungan industrial kembali seperti
pada masa kolonial di mana pemerintah terlibat jauh dalam penataan hubungan
industrial di Indonesia, dengan kata lain gerakan-gerakan buruh menjadi sepi
secara politik. Berkaitan dengan hal itu, apa yang dikemukakan oleh Hilmar
Farid (2002), mungkin bisa membantu:
Munculnya
Orde Baru ditandai oleh penataan ulang hubungan industrial. Penguasa militer
menerapkan model exclusionary corporatism yang menyingkirkan buruh dari proses
pengambilan keputusan dan menyelesaikan perselisihan dengan represi. Gerakan
buruh yang tumbuh subur sebelum Tahun 1965 dihancurkan (dimulai dengan membunuh
dan menangkapi aktivis sayap kirinya) dan Tahun 1973 dibentuk Federasi Buruh
Seluruh Indonesia sebagai wadah tunggal.
Militer
yang mulai terlibat dalam urusan perburuhan ketika terjadi nasionalisasi
perusahaan Tahun 1957 memegang peranan utama dalam mengontrol gerakan buruh
semasa Orde Baru. Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo yang kemudian menjadi
Menteri Tenaga Kerja pertengahan Tahun 1980-an merombak wadah tunggal menjadi
semakin terpusat dan dikontrol dengan nama baru, Serikat Buruh Seluruh
Indonesia (SBSI). Dengan sistem perburuhan seperti ini pemerintah mulai
meningkatkan produksi untuk ekspor dan mendorong laju industrialisasi.
Pengusaha dan birokrat pendukungnya menikmati keuntungan berlipat tapi pada
saat bersamaan memelihara kontradiksi yang inheren dalam sistem kapitalis.
Ada
sekurang-kurangnya dua faktor yang mendasari politik perburuhan represif yang
dikerjakan oleh pemerintahan Orde Baru. Pertama, secara politik, pengekangan terhadap
gerakan buruh bermaksud untuk mencegah kemunculan kembali anasir-anasir radikal
atau kiri dalam gerakan buruh dan secara umum untuk membatasi ruang gerak tiap
organisasi yang bersifat massal, termasuk organisasi gerakan buruh. Kedua,
secara ekonomi, pembatasan gerakan buruh dimaksudkan untuk memuluskan jalannya
tuntutan-tuntutan berbagai agenda ekonomi waktu itu dan ada sedikit relasi
langsung dengan kebutuhan, seperti strategi Industri Substitusi Impor (ISI)
atau keperluan untuk menarik modal asing (Jebatu, 2004).
Pada
dekade 1990-an, ketika rezim Orde Baru mulai mengalami keletihan, fatigue, restrukturisasi
dan cengkeraman Orde Baru atas gerakan buruh mulai mengendur atau longgar,
ditandai dengan munculnya fenomena dan eksperimen serikat-serikat buruh di luar
serikat buruh “resmi” atau diakui oleh negara. Ini menunjukkan bahwa telah
terjadi perubahan hubungan-hubungan kelas: buruh – modal – negara.
Pada
era ini sumber pemogokan buruh industrial bisa disebabkan menjadi dua faktor,
yaitu faktor-faktor yang bersumber pada struktur dasar industrial Indonesia dan
faktor konsentrasi-industrial. Namun, upaya untuk memahami resistensi dan
konflik industrial belum cukup hanya mendasarkan pada penjelasan terhadap
konflik kelas di antara kapital dan buruh, tapi perlu memeriksa perkembangan
industrialisasi Indonesia dan lebih khusus mencermati kontradiksi inheren dalam
transisi dari kebijakan melihat ke dalam yang tercermin dalam kebijakan
Industri Substitusi Impor (ISI) menuju kebijakan memandang keluar Industri
Berorientasi Ekspor (IBE), dan menuju kebijakan ekonomi pasar terbuka yang
kompetitif.
Robison
(1998) berpendapat bahwa jika peralihan dari ISI ke IBE tidak diikuti oleh
perubahan-perubahan praktik-politik maka akan menimbulkan kontradiksi inheren
dalam transisi itu sendiri. Dengan demikian, apabila hubungan-hubungan
industrial tidak megalami perubahan, sementara pada level kebijakan telah
terjadi pergeseran dari kebijakan ISI ke IBE maka kontradiksi itu akan
melahirkan gelombang pemogokan buruh.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada
masa colonial pergerakan buruh tidak terpisahkan dari pergerakan kemerdekaan
(anti kolonial). Kondisi yang hampir serupa juga mewarnai hubungan industrial
pada awal kemerdekaan dimana masih diwarnai oleh orientasi politik. Pada masa
ini seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan untuk mempertahankan kemerdekaan
sehingga polarisasi dalam hubungan industrial tidaklah terasa. Polarisasi dalam
hubungan industrial mulai dirasakan ketika pada tahun 1947 terbentuk serikat
buruh SOBSI yang berorientasi pada komunisme.
Pada
masa pemerintahan Orde Baru, terjadi gerak balik perkembangan hubungan
industrial seperti pada masa kolonial dimana pemerintah terlibat jauh dalam
penataan hubungan industrial seperti pada masa kolonial dimana pemerintah
terlibat jauh dalam penataan hubungan industrial di Indonesia. Dengan kata
lain, kalau pada masa orde lama gerakan buruh menjadi riuh rendah dengan
politik maka pada masa orde baru gerakan-gerakan buruh menjadi sepi secara
politik. Bahkan buruh diasingkan, diabaikan dari politik, dan gerakan buruh
dibatasi dibawah wadah tunggal serikat buruh atau yang dikenal dengan istilah
political labor union.
Kemunculan
HIP dapat dikatakan merupakan bagian dari restrukturisasi gerakan buruh di
Indonesia oleh pemerintah Orde Baru. Langkah restrukturisasi dimaksutkan,
antara lain, untuk meredam andcaman aktivitas politik buruh terhadap stabilitas
social politik yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan. Untuk mencapaii
tujuan tersebut, Orde baru menjalankan dua langkah sekaligus, yaitu penataan
pada aspek kelembagaan dan aspek ideology.
DAFTAR PUSTAKA
Haha
Haryanto dkk. 2009. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Universitas
Indonesia
BalasHapusHalo
Mr Nathan Asher kembali ke sini dan memberikan pinjaman peluang seumur hidup kepada individu, perusahaan bisnis, asuransi, dll. Apakah Anda memerlukan pinjaman mendesak untuk melunasi utang Anda atau apakah Anda memerlukan pinjaman modal untuk meningkatkan bisnis Anda? Apakah Anda ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Apakah Anda membutuhkan konsolidasi atau pinjaman hipotek?
Kami di sini untuk memberikan semua kesulitan keuangan Anda, kami meminjam dana kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit macet atau membutuhkan uang untuk melunasi utang, dan berinvestasi dalam bisnis dengan suku bunga rendah 2%. Saya ingin menggunakan media hebat ini untuk memberi tahu Anda bahwa kami siap membantu Anda dengan segala jenis pinjaman untuk menyelesaikan masalah keuangan Anda.Jika ya, kembalilah sekarang melalui
Kirimi kami email sekarang melalui; (perfectloanfirms@gmail.com) untuk mendaftar.
Nama saya Susi dari Indonesia, saya sudah lama mencari pinjaman asli dan yang saya dapatkan hanyalah penipuan yang membuat saya mempercayai mereka dan pada akhirnya, mereka mengambil uang saya tanpa memberi saya pinjaman, semua harapan saya adalah hilang, saya menjadi bingung dan frustrasi, maka saya merasa sangat sulit untuk memberi makan keluarga saya, saya tidak pernah ingin ada hubungannya dengan pinjaman online lagi, jadi saya pergi untuk meminjam uang dari seorang teman, saya mengatakan kepadanya semua yang terjadi dan dia bilang dia bisa membantu saya, bahwa dia tahu pemberi pinjaman yang jujur bernama Ny. Alicia Radu bahwa dia bisa membantu saya, bahwa dia baru saja mendapat pinjaman dari Ny. Alicia Radu, dia mengarahkan saya tentang cara melamar, saya lakukan seperti yang dia katakan, saya diterapkan, saya tidak pernah percaya tetapi saya mencoba dan yang paling mengejutkan saya mendapat pinjaman 300 juta rupiah, saya tidak percaya saya sangat terkejut ketika memeriksa rekening bank saya dan menemukan jumlah pinjaman yang saya minta telah ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan. Saya sangat senang dan saya berterima kasih kepada ALLAH, karena saya tidak percaya pemberi pinjaman jujur seperti ini masih ada
BalasHapusJadi jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi email ibu Alicia Radu: (aliciaradu260@gmail.com) dan dengan rahmat ALLAH Dia tidak akan mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman.
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya: (susi85746@gmail.com) jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapatkan pinjaman dari Ibu Alicia Radu
Negara: Indonesia
BalasHapusWhatsApp: +62 838-3669-4853
Alamat: Surabaya
email saya: nurbrayani750@gmail.com
nama saya Nurbrayani, saya ingin bersaksi tentang pekerjaan ALLAH yang baik dalam hidup saya, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara Anda? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak pemberi pinjaman palsu ada di internet, tetapi mereka sangat asli dalam pemberi pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari pemberi pinjaman 2 kredit yang curang, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman pinjaman yang andal. Ny. Alicia Radu Saya mendapatkan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000 dari Ny. Alicia Radu dengan sangat mudah dalam 24 jam yang saya lamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan pekerjaan yang baik dari ALLAH melalui Bunda Alicia Radu dalam kehidupan keluarga saya.
Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (nurbrayani750@gmail.com)
Nomor WhatsApp saya: +62 838-3669-4853
jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapat pinjaman dari Ibu Alicia Radu